Di Jepang Dilarang Menari: Kisah Unik Hukum yang Membatasi Gerakan Bebas di Negeri Matahari Terbit

Jepang, negara yang dikenal dengan teknologi canggih, budaya tradisional yang kaya, dan masyarakatnya yang tertib, ternyata pernah menerapkan larangan yang unik: menari di malam hari. Pada tahun 1948, sebuah undang-undang yang dikenal sebagai Fūeihō (Hukum Kontrol Tempat Hiburan) diberlakukan, yang secara tidak langsung melarang banyak tempat untuk mengadakan acara dansa di malam hari tanpa izin khusus. Larangan ini berlaku selama beberapa dekade dan baru mulai dilonggarkan beberapa tahun belakangan ini. Bagi banyak orang di luar Jepang, larangan menari ini terdengar aneh dan membingungkan, terutama bagi mereka yang menganggap menari sebagai bentuk hiburan dan ekspresi diri. Namun, larangan ini memiliki latar belakang sejarah yang menarik dan kompleks, mencerminkan ketegangan antara tradisi, moralitas, dan modernitas di Jepang pasca-Perang Dunia II. Larangan menari di Jepang memiliki akar yang dalam pada masa pasca-Perang Dunia II. Jepang yang baru saja kalah perang mengalami perubahan besar dalam tatanan politik dan sosial. Pemerintah Jepang yang baru dibentuk, bersama dengan pendudukan Sekutu, memperkenalkan berbagai undang-undang untuk mengatur moralitas publik dan membangun kembali tatanan masyarakat yang rusak akibat perang. Pada tahun 1948, Undang-Undang Fūeihō disahkan. Undang-undang ini secara resmi dikenal sebagai “Hukum Kontrol Tempat Hiburan,” yang ditujukan untuk mengatur tempat-tempat hiburan malam, termasuk bar, klub malam, dan tempat-tempat lainnya yang sering dianggap sebagai pusat aktivitas kriminal dan prostitusi. Dalam konteks itu, menari di tempat-tempat ini dianggap sebagai aktivitas yang “meresahkan” dan tidak pantas, terutama jika dilakukan tanpa pengawasan yang memadai. Awalnya, tujuan undang-undang ini adalah untuk mengendalikan tempat-tempat yang dianggap berpotensi menjadi pusat kejahatan dan imoralitas. Karena banyak klub dansa di Jepang pada masa itu dianggap sebagai tempat pertemuan bagi kegiatan ilegal, seperti prostitusi dan perjudian, pemerintah merasa perlu untuk membatasi kegiatan tersebut. Salah satu cara untuk melakukannya adalah dengan melarang menari tanpa izin yang jelas. Menurut Fūeihō, setiap tempat hiburan yang ingin mengadakan acara menari harus mendapatkan izin khusus dari pemerintah. Tempat-tempat ini juga harus mematuhi sejumlah aturan ketat, seperti ukuran ruangan yang cukup besar, pencahayaan yang terang, dan jam operasional yang dibatasi. Salah satu poin utama dalam undang-undang ini adalah bahwa menari dilarang dilakukan setelah tengah malam, kecuali di tempat-tempat yang telah mendapatkan izin. Namun, undang-undang ini tidak hanya berlaku untuk tempat-tempat hiburan malam. Di seluruh Jepang, menari di tempat umum setelah tengah malam juga dianggap ilegal, meskipun ini jarang diberlakukan secara ketat di luar konteks klub malam dan bar. Hal ini menyebabkan beberapa orang merasa terkejut ketika mereka menyadari bahwa tindakan menari di tempat-tempat tertentu sebenarnya melanggar hukum. Larangan menari di Jepang ini menimbulkan berbagai dampak yang menarik, terutama di kalangan generasi muda dan pecinta musik. Pada dekade 1980-an dan 1990-an, ketika budaya klub dan musik elektronik mulai berkembang di seluruh dunia, larangan menari ini menjadi hambatan besar bagi skena klub bawah tanah Jepang. Banyak klub dansa di Tokyo dan Osaka terpaksa beroperasi secara diam-diam, dengan beberapa tempat menawarkan acara-acara menari ilegal yang diselenggarakan secara sembunyi-sembunyi. Polisi sering melakukan razia di klub-klub ini, terutama jika mereka mencurigai adanya kegiatan ilegal lainnya seperti penggunaan narkoba atau perdagangan manusia. Meskipun menari sendiri bukanlah kejahatan berat, pelanggaran Fūeihō bisa berujung pada denda besar dan penutupan tempat usaha. Bagi banyak anak muda Jepang, larangan menari ini dianggap sebagai bentuk pembatasan kebebasan berekspresi. Mereka merasa bahwa menari adalah bentuk ekspresi yang alami dan seharusnya tidak diatur secara ketat oleh pemerintah. Namun, bagi generasi yang lebih tua, undang-undang ini dianggap penting untuk menjaga ketertiban masyarakat dan moralitas di tengah perubahan sosial yang cepat. seiring waktu, pandangan masyarakat terhadap larangan menari ini mulai berubah. Pada awal abad ke-21, semakin banyak orang yang mempertanyakan relevansi Fūeihō di era modern, terutama karena menari di banyak negara lain dianggap sebagai aktivitas yang wajar dan sah. Jepang sendiri dikenal sebagai pusat budaya pop global, dengan musik elektronik, hip-hop, dan tarian menjadi bagian penting dari budaya anak muda di sana. Pada tahun 2010-an, kampanye untuk melonggarkan larangan menari mulai mendapatkan momentum. Salah satu momen penting adalah pada tahun 2010, ketika seorang DJ terkenal di Osaka ditangkap karena menyelenggarakan acara menari di klub tanpa izin. Penangkapan ini memicu protes besar-besaran, dengan banyak orang Jepang merasa bahwa undang-undang ini sudah ketinggalan zaman dan tidak relevan dengan realitas sosial saat itu. Setelah bertahun-tahun tekanan publik dan perdebatan politik, akhirnya pada tahun 2015, pemerintah Jepang memutuskan untuk merevisi undang-undang Fūeihō. Revisi ini secara efektif mencabut larangan menari di sebagian besar tempat, selama tempat-tempat tersebut memenuhi standar pencahayaan dan keamanan tertentu. Tempat-tempat yang ingin mengadakan acara menari setelah tengah malam kini dapat melakukannya dengan lebih mudah, asalkan mereka menjaga pencahayaan yang cukup di dalam ruangan. Revisi undang-undang Fūeihō pada tahun 2015 membawa dampak positif bagi industri hiburan malam di Jepang. Klub-klub di Tokyo, Osaka, dan kota-kota besar lainnya kini dapat menyelenggarakan acara dansa dengan lebih bebas tanpa takut akan razia polisi. Hal ini juga mendorong pertumbuhan skena musik dan budaya klub bawah tanah, yang sebelumnya dibatasi oleh peraturan yang ketat. Selain itu, pelonggaran ini juga disambut baik oleh para turis internasional. Sebagai salah satu tujuan wisata utama di dunia, Jepang menarik jutaan wisatawan setiap tahun. Bagi banyak turis, larangan menari di Jepang terdengar aneh dan membingungkan. Dengan pelonggaran aturan ini, Jepang bisa lebih terbuka terhadap pengunjung dari berbagai negara yang terbiasa dengan kebebasan menari di klub dan bar. meskipun pelonggaran ini disambut baik, ada juga yang khawatir bahwa kebebasan menari yang lebih besar bisa menyebabkan peningkatan kejahatan dan ketidakamanan, terutama di daerah-daerah dengan kehidupan malam yang aktif. Pemerintah Jepang menanggapi kekhawatiran ini dengan memastikan bahwa standar keamanan dan pengawasan tetap dipatuhi di tempat-tempat hiburan malam. Larangan menari di Jepang, yang berlaku selama lebih dari setengah abad, mencerminkan ketegangan antara tradisi dan modernitas, serta antara kontrol moralitas dan kebebasan berekspresi. Meskipun larangan ini awalnya dimaksudkan untuk menjaga ketertiban masyarakat dan mencegah kegiatan ilegal, seiring waktu menjadi jelas bahwa menari sendiri bukanlah ancaman bagi stabilitas sosial. Dengan revisi undang-undang Fūeihō pada tahun 2015, Jepang kini memasuki era baru di mana menari diakui sebagai bentuk hiburan yang sah dan ekspresi budaya. Meskipun masih ada aturan yang harus diikuti, pelonggaran ini memungkinkan masyarakat Jepang untuk menikmati menari dengan lebih bebas, tanpa rasa takut akan tindakan hukum.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *